Senin, 11 April 2016

Polemik dan kebanggaan menjadi seorang mahasiswa pertanian

Hi guys, apa kabarnyaa? Terima kasih ya, udah mau mantengin blog ini. Gue bersyukur masih ada makhluk Tuhan yang (paling sexy) mau buka dan baca postingan di sini. Karena jujur, kadang gue juga suka males baca tulisan gue sendiri. Jadi, buat kalian yang sudah merelakan waktunya untuk mampir, two thumbs up deh. Kalian lebih rajin dari gue, tapi pastinya gak lebih ganteng dari gue. Huehehehehehe.


Jadi buat yang mau cari solusi tentang percintaan, perselingkuhan, pertikungan, per-move on-an, atau per- per- lainnya jangan harap bisa ketemu. Bukan karena gue pelit ilmu, tapi karena gue saat ini menyandang gelar Jomblo yang Lembut, Gentle, Baik, dan Tamvan. Disingkat: Jomblo LGBT (gak usah komen yaa, itu cuma gelar, catet). Oh ya, sebelumnya gue mau menekankan bahwa pembuatan blog ini didasari keinginan kuat, sehat, cermat, dan bersahaja untuk memajukan pertanian di Indonesia (serasa anak Pramuka).

Mungkin di antara kalian ada yang bertanya-jawab, kenapa gue fokus ke pertanian? Jawabannya Cuma satu: gue masih butuh makan bro, sist. Alasan yang absurd memang, tapi makan adalah kebutuhan pokok kita. Di sini ada yang tahan gak selfie seharian? Pasti banyak dong. Tapi pasti gak ada yang sanggup kalo setahun gak makan. Ya kan? Ya dong, ya gitu deh . . . . . Hehe, elu cerdas, Bleh (malaikat cabul berbisik). Oh ya, gue juga lulusan jurusan pertanian.


Oke, back to the case. Sekarang coba elu hitung, berapa jumlah siswa lulusan SMA sederajat yang dari awal emang udah niat daftar kuliah di jurusan pertanian. Hmm, lumayan lah, masih cukup banyak tapi ya cukup langka juga hehehe...

Coba gue persempit:
Berapa yang bertahan di jurusan pertanian sampe tahun pertama?
Berapa yang tahan untuk gak pindah ke jurusan lain, di mana ceweknya cakep-cakep dan gak bau ketek?
Berapa yang sabar ikutin praktikum panas-panasan di lahan?
Berapa yang masih ikhlas nyiram taneman di kebun praktik?
Berapa yang lulus dengan nilai Indeks yang bagus?
Berapa yang milih kerja di instansi atau usaha pertanian selepas wisuda?
Dan berapa yang mau balik ke kampung buat mengamalkan ilmunya?
Gak tau kan? Sama, gue juga gak tau, makanya nanya.


Semakin ke sini, banyak siswa yang menganggap jurusan pertanian kurang bergengsi dan kalah pamor dibanding jurusan lain semisal kesehatan, manajemen, teknik, dll, dsb. Tidak heran kalau jurusan pertanian (kadang, atau malah sering ya?) jadi pilihan kedua waktu mengisi borang SBMPTN. Sehingga ditemui (di kelas gue sih, gak tau kampus lain) mahasiswa pertanian terdiri atas:

Orang yang memang niat milih pertanian (sedikit),
Orang yang terpaksa masuk  karena pilihan pertamanya gak jebol (dan ini banyak),
Orang yang desperate karena gak diterima di kampus lain (biasanya lewat ujian mandiri),
Orang yang salah masuk; mau ke WC tapi malah ke kelas gue.
Jawaban a, b, dan c benar.


And finally kelas gue selalu dikira WC.. Hahaha (kidding).

Generasi petani sekarang banyak diisi orang yang sudah tua, karena generasi mudanya sekarang kebanyakan adalah generasi menunduk, asyik main gadget-nya sendiri. Tiap hari hobinya hunting lokasi yang bagus buat take photos. Mereka gak bisa melewatkan sehari tanpa selfie. Karena kalo minimal sehari sekali gak ganti DP BBM atau gak update di Instagram, dikira udah mati. Mati gaya. Boro – boro mau mikirin pangan, makan aja sering kelewat. Waktu buat selfie lebih banyak daripada buat sholat lima waktu. Orang yang punya gadget itu gaul, yang gak punya gadget itu gak gaul, dan orang yang gak punya moral itu suka menggauli (catet, lagi).


Jujur, semasa kuliah gue juga sering malu mengakui jurusan gue sendiri. Gue merasa jurusan yang gue pilih gak ada keren-kerennya. Di saat yang lain sedang ber-kuliah ria di ruangan ber-AC, gue masih panas-panasan dan megang cangkul (kalau di Jerman bilangnya pacul) di lahan. Ketika jam istirahat tiba, gue hanya bisa menanti kantin sepi di pojokan, karena baju gue basah akibat keringat nakal yang gak sesuai namanya (harusnya basah-at, bukan kering-at). Waktu yang lain asyik mamerin jeans atau sepatu barunya, gue harus sabar karena sepatu gue kotor kena tanah sambil menghirup aroma ketek sendiri (Sorry ya, ketek gue wangi Lavender, catet lagi).

Tapi semua itu berubah, sejak negara api menyerang Amerika, yang berperang dingin dengan Rusia, yang mampu merebut bola dari Ronaldo, dan akhirnya membalap Valentino Rossi (apaan sih ini). Semua berubah sejak gue buka medsos dan ngebaca status temen SMP gue yang sama-sama masuk pertanian tapi beda kampus. Dia nulis (kayanya slogan jurusannya juga sih) yang bunyinya: “No Farm, No Food, No Life”. Pendek tapi bermakna luas dan mampu buat hati gue tersentak (buset, bahasanya).

Ya, kalimat pendek itu bikin gue mulai sadar, apa peran orang – orang seperti gue (baca: mahasiswa pertanian) bagi dunia umumnya, dan khususnya Indonesia. Jika gue menjaga komitmen dan yakin dengan jurusan yang gue ambil, bukan mustahil Indonesia bisa mencapai (kembali) ketahanan pangan. Gak ada lagi orang – orang yang mati kelaparan. Tidak ada lagi yang namanya busung lapar atau bayi yang kekurangan gizi. Bahkan mungkin kita bisa membantu Negara lain yang sedang mengalami krisis pangan.

Thomas R. Malthus ( 1766-1834) dalam essainya menyatakan bahwa pertumbuhan manusia mengikuti deret ukur (1, 2, 4, 8, dst.) sedangkan pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung (1, 2, 3, 4, dst.), sehingga aka nada masanya jumlah makanan per orang akan berkurang. Tapi sekarang pertanian kan makin maju, ada yang namanya perbanyakan in vitro (hayo, tau gak tuh?), sistem tanam hidroponik, aeroponik, vertikultur, dan masih banyak lagi. Kita hanya butuh orang yang komitmen untuk memajukan dunia pertanian. Teknologi sudah berkembang, pemerintah juga sudah memberikan subsidi untuk beberapa sarana pertanian, lahan pertanian masih cukup banyak, malah banyak juga lahan yang menganggur. Tinggal kita yang muda mau bekerja demi pertanian Indonesia.


Maka dari itu, yang sudah masuk jurusan pertanian, yok majukan pertanian Indonesia. Gak usah kalah gengsi dengan jurusan lain. Percuma gaya lu selangit, tapi gak ada makanan. Percuma punya gadget terbaru, tapi lu kelaperan. Dan yang udah milih jurusan lain, pintu menuju dunia pertanian masih terbuka lebar. Dan untuk penutup tulisan ini, gue mau berterima kasih buat kalian yang setia membaca postingan ini sampai kalimat terakhir, dan nantikan tulisan gue selanjutnya.

Terakhir, semoga pertanian Indonesia makin maju.

Say yes to Jomblo, Say no to Homo. But im not alone.. Yeah. You can look at this picture..

Bye.... See you in the next post.. Guys.. Thanks regard 😉


Author: LN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar